Seruan Penghentian Ritual Pengorbanan Hewan dalam Festival Tatung Singkawang

 

Festival Cap Go Meh di Singkawang, Kalimantan Barat, telah lama menjadi daya tarik wisata yang penuh warna. Salah satu sorotan utamanya adalah Pawai Tatung—ritual budaya yang menampilkan atraksi ekstrem dan trance oleh para tatung, yang dipercaya sebagai medium roh leluhur. Ribuan wisatawan hadir setiap tahun untuk menyaksikan kemeriahan ini.

Namun, di balik kemeriahan, terdapat sisi gelap yang terus menjadi sorotan: penggunaan hewan dalam ritual sebelum pawai. Beberapa oknum tatung dari aliran tertentu diketahui masih menggunakan anjing hitam atau ayam putih sebagai “perantara roh” dalam proses pemanggilan supranatural. Praktik ini tidak hanya kontroversial secara moral, tetapi juga bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan.

Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar hukum yang mengatur perlindungan hewan. Dalam UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (jo. UU No. 41 Tahun 2014), Pasal 66 menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyiksa dan/atau memperlakukan hewan tidak layak secara fisik maupun nonfisik. Selain itu, KUHP Pasal 302 juga mengatur sanksi pidana bagi siapa saja yang menyakiti atau membunuh hewan secara tidak wajar.

Ritual pengorbanan hewan dalam konteks budaya tentu membutuhkan kehati-hatian. Tradisi harus bisa berkembang seiring kesadaran etis masyarakat modern. Menjaga budaya bukan berarti mengabaikan nilai kemanusiaan dan kasih sayang terhadap makhluk hidup lain.

Kami menyerukan agar semua bentuk ritual yang menyakiti hewan dihentikan. Tradisi yang agung dapat tetap dilestarikan tanpa kekerasan, dengan cara yang lebih bijak dan beradab—demi kehormatan budaya dan perlindungan makhluk hidup.


Comments

Popular Posts