Hewan Bukan Hiburan: Menyoroti Praktik Pameran Hewan di Mal
Pernahkah kamu melihat hewan-hewan dipamerkan di dalam mal atau pusat perbelanjaan? Dalam balutan tema “edukatif” atau “hiburan keluarga,” pengunjung diajak melihat hewan-hewan eksotis dari dekat — mulai dari reptil, burung, hingga mamalia liar. Sekilas, kegiatan ini tampak seru dan menarik, terutama untuk anak-anak. Namun, di balik keceriaan tersebut, ada pertanyaan penting yang perlu kita renungkan: Apakah ini benar-benar bentuk edukasi, atau justru eksploitasi terselubung terhadap hewan?
Kondisi Hewan dalam Pameran
Hewan yang dijadikan bagian dari pameran di mal biasanya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sama sekali tidak alami. Mereka sering kali:
-
Ditempatkan dalam kandang yang sempit tanpa cukup ruang untuk bergerak bebas.
-
Terpapar suara bising, musik keras, dan lampu sorot yang terus-menerus menyala.
-
Dipaksa berinteraksi dengan banyak orang tanpa henti.
-
Jauh dari habitat asli mereka, tanpa stimulasi lingkungan yang mendukung perilaku alaminya.
Semua kondisi ini dapat menyebabkan stres akut dan gangguan perilaku pada hewan. Dalam jangka panjang, kesehatan fisik dan mental mereka terancam. Ironisnya, ini terjadi di ruang publik yang seharusnya menjadi tempat edukasi dan kesadaran.
Pelanggaran terhadap Prinsip Kesejahteraan Hewan
Dalam dunia kesejahteraan hewan, dikenal konsep “Lima Kebebasan” yang menjadi standar etis dalam memperlakukan makhluk hidup:
-
Bebas dari rasa lapar dan haus.
-
Bebas dari rasa tidak nyaman.
-
Bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit.
-
Bebas mengekspresikan perilaku alaminya.
-
Bebas dari rasa takut dan stres.
Pameran hewan di mal umumnya melanggar sebagian besar, bahkan kelima kebebasan ini. Alih-alih memberikan edukasi yang sehat, kegiatan semacam ini justru menormalisasi perlakuan tidak etis terhadap hewan.
Dampaknya terhadap Anak dan Masyarakat
Salah satu efek paling serius dari pameran hewan di ruang publik adalah bagaimana ia memengaruhi persepsi anak-anak. Saat mereka menyaksikan hewan dalam kondisi seperti itu, tanpa ada penjelasan kritis, mereka bisa menarik kesimpulan keliru:
“Mempermainkan hewan itu wajar.”
“Hewan adalah objek hiburan, bukan makhluk hidup yang harus dihargai.”
Padahal, masa anak-anak adalah fase penting untuk membentuk empati dan kepedulian terhadap sesama makhluk hidup. Jika empati dibiarkan tumpul sejak dini, dampaknya bisa luas — tak hanya terhadap hewan, tapi juga terhadap cara anak memperlakukan lingkungan dan sesama manusia.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai masyarakat, kita punya peran besar dalam menghentikan praktik ini. Berikut beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan:
-
Tidak menonton atau mengunjungi pameran hewan semacam ini.
-
Mengajukan pertanyaan kepada pihak penyelenggara atau pengelola mal: apakah kegiatan ini sudah memenuhi standar etika dan legalitas?
-
Melaporkan kegiatan yang mencurigakan ke BKSDA atau otoritas berwenang.
-
Mengedukasi orang-orang di sekitar kita, terutama lewat media sosial dan komunitas.
-
Mengajak anak-anak belajar menghargai hewan melalui pendekatan empatik, bukan lewat tontonan yang bersifat eksploitatif.
Penutup
Pameran hewan mungkin tampak menyenangkan di permukaan, tapi jika kita melihat lebih dekat, banyak aspek dari kegiatan ini tidak sesuai dengan prinsip kesejahteraan hewan. Sudah waktunya kita mengubah cara pandang dan cara bertindak. Edukasi tidak harus datang dari eksploitasi. Ada banyak cara lain yang lebih etis dan mendidik untuk mengenalkan hewan kepada anak-anak.
Hewan bukan pajangan.
Hewan bukan hiburan.
Hewan adalah makhluk hidup yang pantas dihargai, dilindungi, dan diperlakukan dengan hormat.
Comments
Post a Comment