Mengapa Kekerasan terhadap Hewan Masih Terus Terjadi di indonesia?

 


Kekerasan terhadap hewan bukan lagi fenomena yang hanya terjadi di tempat terpencil atau pelosok. Saat ini, tindakan kejam terhadap hewan dapat dengan mudah kita temukan—di jalanan, fasilitas publik, bahkan di media sosial. Mirisnya, kekerasan ini tidak hanya mencerminkan perilaku individu, tapi juga memperlihatkan lemahnya sistem dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesejahteraan hewan.

Berikut beberapa alasan mengapa kekerasan terhadap hewan masih terus terjadi hingga hari ini:

1. Kurangnya Edukasi dan Empati Sejak Dini

Banyak orang tumbuh tanpa pemahaman bahwa hewan juga makhluk hidup yang dapat merasakan sakit, takut, stres, bahkan trauma. Ketika pendidikan formal dan informal tidak menyentuh aspek kesejahteraan hewan, maka empati pun akan gagal ditanamkan.

Padahal, interaksi dengan hewan bisa menjadi sarana efektif untuk menumbuhkan kasih sayang, kepedulian, dan rasa tanggung jawab sejak usia dini. Interaksi yang dimaksud disini bukan dengan “menonton hewan dalam pertunjukan atau di kebun binatang”, tapi lebih pada keterlibatan langsung—seperti merawat hewan peliharaan ataupun menunjukkan kasih sayang terhadap hewan jalanan (stray cat).

2. Regulasi Sudah Ada, Tapi Penegakan Hukumnya Lemah

Di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejumlah aturan yang dapat digunakan untuk melindungi hewan. Misalnya:

  • Pasal 302 KUHP yang mengatur hukuman bagi pelaku penyiksaan hewan.

  • UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang mencantumkan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare).

  • Permentan No. 114/2014 tentang Kesejahteraan Hewan dalam Proses Pemeliharaan, Pengangkutan, dan Pemotongan.

  • Dan beberapa regulasi teknis lainnya.

Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum masih lemah. Kasus-kasus kekerasan terhadap hewan sering kali tidak ditindaklanjuti, pelaporan tidak ditanggapi serius. Aparat penegak hukum kerap bingung menentukan pasal yang tepat, dan tidak jarang menganggap isu ini sepele. Selain itu, budaya permisif, minimnya sosialisasi hukum, dan birokrasi yang rumit turut memperparah situasi ini.

Karenanya, sangat diperlukan regulasi khusus yang lebih tegas dan spesifik, terutama untuk melindungi hewan-hewan domestik. Ini bisa menjadi langkah awal sebelum perlindungan diperluas pada hewan liar, satwa dilindungi, dan hewan pekerja.

3. Kekerasan yang Dianggap “Biasa” dalam Budaya dan Tradisi

Beberapa praktik kekerasan terhadap hewan masih dianggap wajar karena telah lama menjadi bagian dari tradisi atau budaya. Contohnya, adu hewan, pemotongan yang tidak manusiawi, hingga penanganan kasar di pasar hewan.

Tanpa kesadaran kritis, masyarakat cenderung membenarkan praktik-praktik ini atas nama “adat” atau “warisan leluhur.” Padahal, budaya seharusnya berjalan seiring dengan perkembangan zaman, termasuk dalam memperlakukan makhluk hidup dengan lebih beradab dan penuh belas kasih.

Jangan sampai atas nama "tradisi", Indonesia dicap sebagai negara yang tidak memiliki empati terhadap makhluk lemah.

4. Minimnya Pengawasan dan Regulasi Teknis di Lapangan

Banyak fasilitas yang menggunakan hewan—seperti kebun binatang, peternakan, tempat wisata, dan pasar hewan—beroperasi tanpa standar kesejahteraan hewan yang jelas. Tanpa pengawasan dan kontrol dari pihak berwenang, kekerasan dan eksploitasi bisa berlangsung secara sistematis dan tak terlihat oleh publik.

Bahkan untuk hewan pekerja, seperti kuda penarik delman atau pengangkut barang, belum ada regulasi yang benar-benar mengatur hak dan kesejahteraan mereka. Kami bersama dengan Jaan Domestic Indonesia Foundation melalui Program Peduli Kuda Pekerja terus berupaya mendorong adanya kebijakan dan regulasi yang berpihak pada perlindungan hewan pekerja di Indonesia.

5. Hewan Masih Dipandang Sebagai Barang atau Komoditas

Dalam sistem ekonomi saat ini, hewan sering kali dianggap semata-mata sebagai komoditas. Mereka diperdagangkan, digunakan, dan dieksploitasi demi keuntungan. Kesejahteraan fisik maupun psikologisnya sering diabaikan.

Praktik ini menormalisasi kekerasan dan membuat manusia lupa bahwa hewan adalah makhluk hidup yang juga harus dihargai dan dilindungi.

6. Penyebaran Konten Kekerasan di Media Sosial

Media sosial seharusnya menjadi ruang edukasi, namun sayangnya sering disalahgunakan untuk menyebarluaskan konten kekerasan terhadap hewan. Banyak dari konten ini dibungkus sebagai "hiburan" atau "konten lucu", padahal jelas-jelas mengandung unsur penyiksaan dan kekejaman.

Fakta tragis: Indonesia menempati peringkat pertama dunia dalam jumlah unggahan konten kekerasan terhadap hewan.
Ini adalah cerminan buruk yang seharusnya membuat kita semua tersadar.

🔴 Jangan ikut menonton, membagikan, atau mengomentari konten tersebut.
✔️ Laporkan dan blokir (report & block). Jangan biarkan kekerasan ini terus dinormalisasi hanya karena algoritma.

7. Akses Pelaporan yang Tidak Jelas

Banyak masyarakat yang ingin melaporkan kekerasan terhadap hewan, namun tidak tahu harus melapor ke mana. Tidak adanya sistem pelaporan nasional yang mudah dan responsif menjadi hambatan besar.

Akibatnya, kasus-kasus kekerasan hanya viral di media sosial tanpa ada proses hukum yang mengikutinya. Untuk itu, kami sebagai bagian dari Jaringan Advokat Satwa Indonesia siap membantu dan mendukung proses pelaporan kasus pidana terhadap hewan.

Saatnya Kita Bertindak

Kekerasan terhadap hewan bukan sekadar isu hewan semata—ini adalah isu kemanusiaan dan keadilan. Saat manusia kehilangan empati terhadap makhluk hidup yang lebih lemah, kita juga kehilangan sebagian nilai moral sebagai manusia.

Mari mulai dari diri sendiri. Edukasi orang-orang di sekitar. Laporkan kekerasan, dan jangan dukung penyebaran kontennya. Empati bukan hanya untuk sesama manusia—tapi juga untuk makhluk hidup lainnya.


Comments

Popular Posts