Alarm untuk Kemanusiaan: Kasus Kekerasan Beruk di Labusel
Peristiwa penyiksaan dan pembunuhan seekor beruk (Macaca nemestrina) di Labuhanbatu Selatan (Labusel), Sumatera Utara, pada 16 Juli 2025, menjadi alarm keras bagi kemanusiaan. Kasus ini direkam, diunggah ke media sosial, dan sempat viral, namun justru dihentikan oleh pihak kepolisian dengan alasan “beruk bukan satwa dilindungi” dan “tidak ada unsur pidana.”
Padahal, meskipun secara hukum Indonesia beruk belum masuk daftar satwa dilindungi, kekerasan tetaplah kekerasan. Membiarkan tindakan ini tanpa sanksi berarti memberi ruang bagi perilaku yang dapat mengarah pada kekerasan lebih lanjut—baik terhadap hewan maupun manusia.
Fakta Kasus yang Mengkhawatirkan
Koalisi Anti Kekerasan terhadap Satwa, yang terdiri dari Animal Voice Indonesia, Jakarta Animal Aid Network (JAAN), dan Animal Lawyer Indonesia, telah mengajukan laporan resmi ke Polres Labuhanbatu Selatan. Laporan disertai dengan bukti video dan dasar hukum yang relevan.
Namun, meski pelaku sempat ditangkap, ia dibebaskan dengan dalih beruk sudah mati sebelum penyidikan tuntas dan kasus tidak naik menjadi Laporan Polisi (LP).
Status Konservasi Beruk di Dunia
Secara internasional, beruk berstatus Terancam Punah (Endangered) menurut IUCN Red List sejak Maret 2022. Status ini diberikan karena populasi beruk diperkirakan turun lebih dari 50% dalam tiga generasi terakhir akibat hilangnya habitat, perburuan, dan eksploitasi.
Beruk juga tercatat dalam Appendiks II CITES, yang mengatur ketat perdagangan internasional spesies terancam punah. Dengan status ini, seharusnya keberadaan beruk menjadi perhatian serius, meskipun perlindungan hukumnya di Indonesia belum optimal.
Bukan Sekadar Isu Satwa, Tapi Isu Kemanusiaan
Kekerasan terhadap hewan sering kali menjadi cerminan hilangnya empati. Penelitian menunjukkan bahwa pelaku kekerasan terhadap hewan memiliki potensi besar untuk melakukan kekerasan terhadap manusia di kemudian hari.
Membebaskan pelaku yang jelas-jelas melakukan penyiksaan terekam video bukan hanya bentuk pembiaran, tetapi juga ancaman bagi masyarakat. Kasus ini dapat menjadi preseden buruk: bahwa kekerasan yang direkam dan disebarkan tidak akan ditindak tegas.
Tuntutan Masyarakat Sipil
Koalisi dan para aktivis hewan menuntut:
-
Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku kekerasan, tanpa memandang status perlindungan satwa.
-
Kajian ulang daftar satwa dilindungi di Indonesia agar mengikuti perkembangan status konservasi global.
-
Edukasi publik untuk menumbuhkan empati dan mencegah kekerasan lintas spesies.
Seruan untuk Bertindak!
Kasus ini adalah pengingat bahwa perlindungan satwa bukan hanya soal satwa itu sendiri, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang beradab. Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak boleh dibiarkan.
Mari bersuara dan mengawal proses hukum agar tidak berhenti di tengah jalan. Karena ketika kita membiarkan kekerasan terhadap makhluk tak berdaya, kita sedang mengikis kemanusiaan kita sendiri.
.png)

Comments
Post a Comment