Putusan MK Soal Pasal 66 UU PPLH: Perlindungan Baru bagi Aktivis Lingkungan dan Satwa

 

Perjuangan melindungi hutan terakhir Indonesia, menjaga kesehatan laut, dan menghentikan perdagangan satwa liar tidak pernah mudah. Aktivis, masyarakat adat, hingga akademisi sering berhadapan dengan ancaman kriminalisasi ketika menyuarakan pelanggaran lingkungan.

Namun, harapan baru muncul melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terkait Penjelasan Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Putusan ini mempertegas perlindungan hukum bagi siapa saja yang berjuang melawan pencemaran dan perusakan lingkungan. Artinya, perjuangan melindungi hutan, laut, dan satwa kini mendapat payung hukum yang lebih jelas.


Latar Belakang Pasal 66 UU PPLH

Pasal 66 UU PPLH sebelumnya berbunyi:

"Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata."

Namun, dalam praktiknya, banyak aktivis lingkungan tetap menghadapi kriminalisasi melalui gugatan balik (SLAPP – Strategic Lawsuit Against Public Participation). Penjelasan Pasal 66 dianggap membuka celah multitafsir sehingga perlindungan bagi pejuang lingkungan tidak berjalan maksimal.

Inilah yang kemudian mendorong dua pemohon, Leonardo Petersen Agustinus Turnip dan Jovan Gregorius Naibaho, untuk mengajukan uji materi ke MK.


Putusan MK: Perlindungan Lebih Luas

Dalam sidang putusan, MK menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 66 UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai secara lebih luas.

MK menegaskan bahwa perlindungan dimaksud tidak hanya untuk individu yang mengajukan gugatan, tetapi juga meliputi:

  • Korban pencemaran atau perusakan lingkungan

  • Pelapor kasus lingkungan

  • Saksi

  • Ahli

  • Aktivis lingkungan

Selain itu, MK juga menegaskan bahwa perlindungan ini bertujuan mencegah tindakan balasan melalui pemidanaan, gugatan perdata, maupun upaya hukum lainnya, dengan tetap menghormati prinsip kemandirian peradilan.


Implikasi Putusan MK

1. Perlindungan Aktivis Lingkungan

Aktivis kini memiliki payung hukum yang lebih jelas. Mereka yang menyoroti pembalakan liar, tambang ilegal, pencemaran laut, hingga perdagangan satwa liar akan lebih aman dari ancaman kriminalisasi.

2. Dukungan bagi Masyarakat Adat dan Lokal

Masyarakat adat yang selama ini menjadi garda terdepan melindungi hutan adat dari eksploitasi kini bisa merasa lebih terlindungi dalam perjuangan mereka.

3. Peneguhan Hak Konstitusional

Putusan ini mempertegas hak konstitusional setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945.

4. Dorongan untuk Penegakan Hukum

Aparat penegak hukum kini memiliki dasar lebih kuat untuk tidak memproses laporan yang bersifat balasan terhadap aktivis atau pelapor kasus lingkungan.


Hubungan dengan Perlindungan Hutan, Laut, dan Satwa

Menjaga Hutan Terakhir Indonesia

Indonesia masih memiliki beberapa hutan hujan tropis tersisa, seperti di Papua, Kalimantan, dan Sumatra. Hutan ini adalah rumah bagi satwa langka seperti orangutan, harimau sumatra, dan cendrawasih. Putusan MK memberi semangat baru untuk menghentikan pembalakan liar dan alih fungsi hutan.

Melindungi Kesehatan Laut

Pencemaran laut akibat limbah industri, tumpahan minyak, dan plastik berdampak langsung pada ekosistem laut. Aktivis yang mengadvokasi kebijakan ramah laut kini lebih aman dalam menyuarakan temuan dan laporan mereka.

Menghentikan Perdagangan Satwa Liar

Indonesia masih menghadapi masalah besar perdagangan satwa liar, dari burung kicau, trenggiling, hingga penyu. Perlindungan hukum bagi pelapor akan memperkuat upaya memberantas sindikat perdagangan ilegal ini.


Tantangan yang Masih Ada

Meskipun putusan MK ini sangat penting, perjuangan masih panjang. Beberapa tantangan yang perlu diantisipasi antara lain:

  1. Implementasi di lapangan – Perlu sosialisasi luas agar aparat memahami putusan ini.

  2. Budaya hukum – Gugatan balik (SLAPP) masih bisa terjadi bila aparat tidak tegas.

  3. Keterbatasan akses hukum – Aktivis di daerah sering tidak punya dukungan hukum memadai.

  4. Kepentingan ekonomi – Tekanan dari industri ekstraktif bisa tetap menjadi hambatan.


Peran Masyarakat dalam Mengawal Putusan

Keberhasilan putusan MK ini bergantung pada keterlibatan semua pihak. Masyarakat bisa berperan melalui:

  • Pelaporan aktif bila terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan.

  • Dukungan solidaritas kepada aktivis atau warga yang mengalami intimidasi.

  • Kampanye edukasi agar publik semakin paham pentingnya hutan, laut, dan satwa.

  • Kolaborasi dengan LSM, media, dan lembaga negara untuk memperkuat pengawasan.


Kesimpulan

Putusan MK terkait Penjelasan Pasal 66 UU PPLH adalah tonggak penting dalam sejarah perlindungan lingkungan di Indonesia. Kini, masyarakat, aktivis, dan saksi kasus lingkungan memiliki perlindungan lebih jelas dari ancaman kriminalisasi.

Harapan besar muncul: bahwa dengan perlindungan hukum ini, gerakan melindungi hutan terakhir Indonesia, kesehatan laut, dan satwa liar bisa berjalan lebih kuat dan berkelanjutan.

Karena pada akhirnya, cara kita memperlakukan alam dan satwa mencerminkan peradaban bangsa.

Comments

Popular Posts