Tesso Nilo: Kasus Pidana Lingkungan dan Konservasi yang Harus Ditindak Tegas

 

Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Riau merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di Indonesia. Hutan ini menjadi rumah terakhir bagi Gajah Sumatra, Harimau Sumatra, dan ribuan satwa liar lain yang bergantung pada ekosistem hutan hujan tropis yang tersisa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Tesso Nilo berada di ambang kehancuran akibat perambahan hutan, kebun sawit ilegal, dan rusaknya habitat satwa dilindungi.

Kerusakan di Tesso Nilo bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan kejahatan serius yang masuk dalam ranah pidana lingkungan dan konservasi. Penegakan hukum bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan hutan dan seluruh makhluk hidup di dalamnya.

Perambahan Hutan sebagai Tindak Pidana Kehutanan

Dasar hukum utama penanganan kasus Tesso Nilo adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 50 ayat (3) secara tegas melarang setiap orang melakukan kegiatan di kawasan hutan tanpa izin yang sah. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (2), dengan ancaman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.

Aktivitas perambahan dan pembukaan lahan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo jelas memenuhi seluruh unsur tindak pidana kehutanan tersebut.

Sawit Ilegal dan Kejahatan Terorganisir

Lebih lanjut, praktik kebun sawit ilegal di dalam kawasan konservasi juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal 17 dan Pasal 19 melarang pembukaan lahan dalam kawasan hutan konservasi, sementara Pasal 94 ayat (1) mengatur ancaman pidana hingga 15 tahun penjara dan denda Rp10 miliar, yang dapat dikenakan baik kepada individu maupun korporasi.

Keberadaan sawit ilegal di TNTN menunjukkan indikasi kuat kejahatan kehutanan yang terorganisir, bukan pelanggaran biasa.

Potensi Tindak Pidana Korupsi

Dalam konteks tertentu, perambahan Tesso Nilo juga berpotensi masuk ranah tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 dan 3 dapat diterapkan apabila terdapat penyalahgunaan kewenangan, pembiaran, atau keterlibatan aparat yang mengakibatkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan.

Kerusakan taman nasional akibat pembiaran sistematis bukan hanya kejahatan lingkungan, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepentingan publik.

Perusakan Habitat Satwa Dilindungi

Dari sisi konservasi, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang segala bentuk perusakan habitat satwa dilindungi. Pasal 21 dan Pasal 22 menegaskan bahwa perusakan habitat yang menyebabkan hilangnya satwa liar merupakan tindak pidana, dengan ancaman penjara hingga 5 tahun dan denda Rp100 juta.

Perusakan habitat Gajah Sumatra di Tesso Nilo secara hukum telah memenuhi unsur pidana konservasi.

Penegakan Hukum adalah Jalan Penyelamatan

Tesso Nilo adalah rumah bagi satwa liar yang tak bersuara. Penegakan hukum yang tegas, konsisten, dan transparan menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya. Masyarakat sipil, advokat, dan pegiat lingkungan harus terus bersuara, mengawal setiap proses hukum, dan memastikan seluruh pasal ditegakkan.

Save Tesso Nilo. Hutan ini harus diselamatkan sekarang.

Comments

Popular Posts